UNTUKMU YANG SEHATI
Di tengah perjalananku
menuju sebuah kedai kopi ada sebuah nama yang memaksaku meminta diingat, seolah
mengetuk-ngetuk kepalaku. Namamu, nama seorang pria yang sejak kelas 1 SMP
menjadi sahabatku bersama empat orang teman lainnya yang terbentuk dalam satu
geng. Seolah waktu mengajak aku berputar kembali ke dua belas tahun yang lalu.
"Halo, kamu enggak
masuk sekolah sakit ya?"
Tanyaku dengan santai sambil memastikan bahwa kau benar sakit.
"Halo, iya lagi gak enak badan, nih. Tumben kamu nelpon pas
jam pulang, ada apa?"
"Aku ada kabar gembira, lo! Kita sekelas lagi, dapat ruang
kelas 3.1 kelas unggulan, hore...!"
Jawabku dengan nada gembira.
"Kamu girang banget,
kitakan emang selalu sekelas. Mereka berempat juga sekelas lagikan sama
kitakan?"
"Enggak, mereka
berempat enggak sekelas lagi sama kita, mereka pisah-pisah. Cuma kita berdua
aja yang sekelas lagi."
"Yah... enggak rame
lagi, deh. Besok kalau kamu datang duluan tolong cariin bangku ya buat aku.
Andai perempuan dan laki-laki boleh duduk sebangku kitakan jadi enggak perlu
repot cari teman sebangku lagi."
"Ah, biasanya juga
kamu yang sampai di sekolah duluan, nanti kalau kamu sampai duluan juga cariin
aku bangku ya, kita duduknya bersebrangan lagi aja."
"Oke."
Selama 3 tahun aku selalu
satu ruang kelas denganmu dan kamu selalu duduk di seberangku. Namamu cukup
terkenal dikalangan adik kelas, meskipun kamu bukan anak OSIS, tapi kamu adalah
vokalis grup band yang sering mengikuti lomba di Kabupaten dan sering tampil
dibeberapa acara sekolah. Tidak heran jika adik kelas sering ada yang
menitipkan salam untukmu lewatku. Terutama saat jam istirahat tiba, adik-adik
kelas perempuan sering menunggumu lewat di depan kantin, hingga membuatmu jadi
malas jajan ke kantin lagi. Suatu ketika pernah ada seorang adik kelas yang
menyapaku di kantin untuk menanyakan jajanan kesukaanmu. Jajanan kesukaanmu
adalah Chacha kacang berbungkus warna kuning. Hingga adik kelas tersebut
akhirnya menitipkan sebungkus Chacha kacang untukmu. Sesampainya di kelas,
kudekati dirimu yang sedang asyik mengobrol di bangku belakang kelas bersama
teman-teman pria lainnya yang sedang bermain gitar.
"Nih, Chacha buat
kamu."
Aku memberikan sebungkus Cha-cha itu
kepadamu.
"Emangnya aku titip
jajan sama kamu, ya?"
Kamu bertanya dengan wajah bingung.
"Enggak, itu emang
buat kamu."
Jawabku santai tanpa mengatakan bahwa itu
dari adik kelas, karena jika aku mengatakannya aku tahu kamu tidak akan
memakannya.
"Wah.. makasih
ya."
Aku duduk di sampingmu, aku
memperhatikanmu yang langsung membuka bungkus Chacha dan memastikanmu mulai
memakannya.
"Besok gantian ya,
aku yang jajanin kamu."
"Engg…ggak
usah."
Tidak seperti biasanya aku menolak tawaran
traktiran jajan darimu.
"Memangnya kenapa?
Kamu bertanya sambil mengunyah Chacha
tersebut.
"Karena Chachanya
itu bukan dari aku, tapi dari adik kelas perempuan yang suka nungguin kamu
lewat di depan kantin.
"Haaah... apa? Uhuk…
uhuk...!"
Seketika kamu kaget, sambil
terbatuk-batuk. Aku dan teman-teman tertawa geli melihat ekspresimu yang kaget
sampai tersedak Chacha.
"Ciee...cie... dapat jajanan favorit
dari fansnya!"
Aku dan teman-teman
kompak meledekmu. Karena teman-teman pun tahu adik kelas tersebut memang sangat
menyukaimu, sering menitipkan salam untukmu lewat beberapa teman sekelas.
"Kenapa kamu enggak
bilang dari awal kalau Chacha ini darinya?"
Kamu bertanya marah kepadaku sambil
melotot. Kamu memang paling anti menerima apapun dari adik kelas yang terlihat
sangat berlebihan kepadamu.
"Karena
kalau aku bilang dari awal pasti nggak akan dimakan sama kamu. Kan mubazir
jadinya."
Jawabku sambil memasang ekspresi wajah
bersalah.
"Tapikan
bisa kamu aja yang makan, kalau aku yang makan nanti ada peletnya bagaimana?"
Seketika kita tertawa, menertawakan
pikiranmu yang sangat mengada-ngada itu.
Kamu menjelaskannya
padaku, kamu tidak mau memakannya karena kalau kamu memakannya kamu takut dia
berpikir bahwa kamu bahagia menerimanya dan akan menjadi suatu kebiasaan
untuknya kemudian malah akan membuatnya semakin berharap padamu. Serumit itu
usahamu agar tidak memberikan harapan kosong kepadanya.
Kita sama-sama suka pelajaran olahraga. Apalagi ketika pengambilan nilai untuk berlari mengitari bagian luar gedung sekolah. Selalu aku perempuan pertama yang tiba di garis finish dan selalu kamu laki-laki pertama yang tiba di garis finish. Dulu kita sekompak itu.
♥♥♥
Sambil mengingat kenangan
itu aku terus mengemudikan mobil menuju kedai kopi. Aku juga bingung, mengapa tiba-tiba
aku mengingatmu dengan cerita-cerita yang lebih dari dua belas tahun telah berlalu?
Kemudian pada empat tahun yang lalu setelah delapan tahun berpisah.
Ketika
Whatsappku berbunyi, ada seseorang yang mengundangku ke sebuah group. Dia
adalah salah satu anggota geng semasa SMP, dia pernah meminta nomor handphoneku
ketika tanpa sengaja dia pernah bertemu denganku di Stasiun. Ketika kubuka
Whatsapp, undangan itu adalah grup alumni SMP. Bukan main, bahagia sekali
rasanya bisa terhubung kembali dengan teman-teman alumni SMP. Hanya aku yang
terpisah jauh sejak lulus SMP, karena dulu aku diterima di SMA Negeri favorit
di Kota yang berbeda. Aku melihat ada namamu di group itu. Aku mulai mengklik nomormu,
kemudian mengetik salam untuk menyapamu, meyakinkan diriku bahwa itu benar
adalah kamu. Inilah saat pertama kali kita terhubung kembali setelah terpisah
lebih dari delapan tahun lamanya, karena aku kehilangan kontakmu tepatnya
setahun setelah lulus SMP karena telepon rumahku dan rumahmu diputus.
Aku dan kamu larut dalam
sebuah obrolan, kemudian saling follow akun sosial media Path dan Instagram.
Nama akunmu di luar dugaanku. Pantas saja, setiap kali mencari namamu lewat
akun sosial media aku tidak pernah berhasil menemukan namamu di sana. Dari
postingan Instagrammu itu aku tahu bahwa kamu masih suka olahraga lari. Setelah
kamu melihat postingan Instagramku, kamu pun mengatakan bahwa aku masih sama
seperti dulu suka membaca buku, kamu mulai bertanya-tanya tentang penulis
favoritku dan tempat biasa aku membeli buku secara online. Ternyata kesukaan
kita masih sama seperti dulu. Sama-sama suka olahraga lari dan membaca buku.
Obrolan via whatsapp pun semakin seru, hingga beralih topik jurusan kuliah dan
pekerjaan. Meski rumah kita berjauhan, tapi ternyata kantor tempat kita bekerja
tidak berjauhan.
Beberapa minggu kemudian
aku dan kamu sapakat untuk bertemu pada hari Sabtu malam disebuah kedai roti
bakar. Hari itu hujan turun begitu derasnya seolah ingin ikut menyambut
pertemuan pertama kita setelah tidak bertemu lebih dari depan tahun lamanya.
Aku melihatmu sudah duduk terlebih dahulu di sudut kedai, kemudian kamu
melambaikan tangan ke arahku. Aku menghampirimu.
"Hei, kamu apa
kabar?"
"Baik. Kamu sendiri
gimana kabarnya?"
"Sama, aku juga baik
kabarnya.”
"Kamu mau pesan
apa?"
"Aku pesan matcha
latte aja sama roti bakar selai coklat.”
"Aku juga kalau
pesan roti bakar sukanya selai coklat. Kenapa minumnya gak kopi aja, sih? Biar
samaan juga."
"Aku enggak suka
minum kopi. Sukanya matcha."
"Ooh.. yah padahal
hujan-hujan begini enaknya minum kopi, lo!"
Aku memberikanmu sebuah buku
dari salah satu karya penulis favoritmu. Kamu terlihat begitu senang
menerimanya. Buku itu juga yang menjadi salah satu alasan kita bertemu. Awalnya
kamu ingin meminjam buku itu dariku, tapi aku lebih memilih untuk membelikanmu
buku yang baru, sekaligus sebagai hadiah ulang tahunmu yang sudah lewat seminggu.
Kita terbawa ke dalam sebuah obrolan yang ternyata aku dan kamu sama-sama
jomblo. Kita saling menyebutkan nama-nama teman semasa SMP dulu, yang kabarnya
sudah banyak yang menikah. Kemudian teringat kepada teman perempuan yaitu salah
satu anggota geng kita yang belum lama pernah bertemu denganku di Stasiun.
Akhirnya kita membuat group Whatsapp yang isinya aku, kamu dan dia. Kita
membuat janji minggu depan akan bertemu.
♥♥♥
Baru saja aku melewati
kedai roti bakar saat dulu pertama kali kita bertemu, kali ini tujuanku kedai
kopi juga untuk bertemu denganmu. Di depan ada lampu merah yang membuatku
berhenti mengemudi sejenak. Aku menarik nafas dalam-dalam. Aku teringat pernah
merapalkan doa semoga aku akan dipersatukan dengan seorang pria yang memiliki
banyak kegemaran yang sama denganku.
Aku setuju jika kalian
berdua menjadi sepasang kekasih. Kamu memintaku untuk membantumu membuat
rencana kejutan di hari ulang tahunya, aku pun dengan senang hati membantumu.
Aku berpikir, apa mungkin kamu juga menyukai dia? Karena ketika hari ulang
tahunku kamu tidak menyiapkan kejutan apa-apa untukku, tidak seistimewa hari
ulang untuknya, hanya memberikanku sebuah hadiah sederhana.
Mungkin kamu berpikir karena
sudah ada yang menyiapkan kejutan untukku, yaitu seorang pria yang kamu tahu
dia menyukaiku sejak lama. Sendainya kamu tahu, aku tidak bisa menerima
cintanya karena apa yang aku sukai sangat bertolak belakang dengan dirinya,
saat bersamanya waktu pun terasa berjalan sangat lama dan membosankan. Sering
kali dirinya menyuruhku hanya mengikuti apa yang dirinya mau. Tidak seperti
saat aku menghabiskan akhir pekan bersamamu, bisa larut dalam sebuah obrolan
tentang hal yang sama-sama kita sukai, hingga waktu tak terasa begitu cepat
berlalu. Aku memang tidak pernah menyampaikan keresahanku ini kepadamu. Karena
jika aku menyampaikannya, itu sama saja aku mengatakan bahwa aku ingin terus
bersamamu.
Soal kejutan ulang tahun
yang kamu rencanakan untuk dia, itu cukup berhasil membuatnya terkejut. Dia
merasa bahagia sekali, aku dan kamu langsung diajaknya makan. Ketika selesai
makan kita berbincang-bincang, tiba-tiba kamu mengatakan sesuatu.
“Ada berita bahagia yang
mau aku sampaikan ke kalian berdua.”
“Berita bahagia apa?”
Aku bertanya kepadamu dengan wajah
antusias ingin tahu.
“Akhirnya
sekarang aku udah nggak jomblo lagi, aku udah jadian.”
“Jadian?
Sama siapa?”
Dia pun bertanya penuh curiga kepadamu
sambil melirik ke arahku. Aku pikir ini masih dalam rencana kejutanmu untuknya.
“Maaf, aku emang nggak
pernah cerita ke kalian tentang wanita yang satu ini, dia sahabatku sejak SMA. Dia
sempat membuatku patah hati, karena menerima teman kampusnya sebagai pacarnya,
mungkin aku juga yang salah karena telat mengungkapkan perasaanku kepadanya.
Sebulan yang lalu dia putus dengan lelaki itu, lima tahun aku memendam
perasaan, tanpa berpikir panjang seminggu yang lalu aku pun langsung menyatakan
cintaku padanya. Aku begitu yakin pada perasaan cintaku ini memang hanya
untuknya yang sudah aku kenal dekat sejak SMA dulu, untuk itu sebagai bukti
keseriusan cintaku, kami akan melangsungkan pernikahan awal tahun 2020 nanti,
agar kami bisa memiliki banyak waktu untuk menyiapkan segala sesuatunya lebih
matang dari sekarang.”
“Wah…
selamat ya, semoga lancar sampai menjelang hari H. Sampaikan salam dari kita
berdua untuknya, ya!”
Aku mengucapkan selamat kepadamu, yang
sebelumnya sempat heningan sesaat.
“Terima kasih, ya. Kalian
berdua emang sahabat terbaikku.”
Kamu menjawab ucapan selamat dariku dengan
wajah gembira.
Sedangkan dia yang sedang
berulang tahun hanya masih menatapmu dengan tatapan kosong, mungkin dia sangat
kaget, sebetulnya sama, aku pun juga kaget.
♥♥♥
“Hai… sudah lama ya
menungguku?”
“Enggak, kok. Oia… ini
undangan untukmu.”
Kamu lekas memberikan undangan itu
untukku, tetapi aku punya perasaan seolah ingin menanyakan adakah yang ingin
kau katakan kepadaku? Aku mengubah pertanyaan itu dengan pertanyaan yang lain.
“Bisakah
kamu menuliskan suatu kalimat untukku di undangan ini, tepat di bawah namaku?”
Kemudian, aku menyerahkan pulpen ke
arahmu, untuk menuliskannya.
“Mengapa
harus begitu?”
“Aku mau undangan untukku
spesial, berbeda dari yang lainnya. Ayolah, akukan selama ini tidak pernah
meminta yang macam-macam! Hanya kali ini saja, ya.”
“Baiklah, beri aku waktu
beberapa menit untuk berpikir.”
Sepuluh menit berlalu dengan hening,
tetapi kamu belum juga menuliskan apa-apa untukku.
“Lama
banget, emangnya kamu mau nulis apa, sih?”
“Nulis
itu enggak bisa dipaksa, sabarlah sebentar lagi.”
Lima menit kemudian kamu mulai menuliskan
sesuatu untukku di undangan itu tepat di bawah namaku.
“Yes,
akhirnya kamu nulis juga.”
“Nih,
buat kamu.”
Kamu menggeser undangan itu ke arahku di
atas meja.
“Buku
+ Teman = Kencan.”
Aku membacakan tulisanmu pada undangan itu
yang berada tepat di bawah namaku dengan intonasi bertanya, sambil menatap
tajam ke arahmu.
“Iya.
Emmh… Aku gak bisa lama-lama di sini, setelah kopiku habis langsung mau
berangkat lagi.”
Aku masih mentap undangan itu, aku mengartikan
tulisanmu itu dalam diam. Aku tidak berani menanyakan apa maksudmu
menulisakannya kata-kata itu. Karena suasana berubah jadi serba canggung. Mungkinkah
saat dulu pertama kali kita bertemu di kedai roti bakar, saat aku membawakanmmu
sebuah buku dari salah satu karya penulis favoritmu, saat itu kamu menganggap
kita sedang berkencan?
Cukup
lama kita ada dalam keheningan, seperti menjadi dua orang asing yang baru saja
berkenalan. Sekarang aku mulai meyadari, sepanjang jalan menuju kedai kopi, aku
mengingatmu dengan cerita-cerita yang lebih dari dua belas tahun telah berlalu,
itu karena aku tahu setelah hari ini mungkin kita tidak akan pernah bisa
seperti dulu lagi. Akan ada jarak di antara kita.
“Kamu masih mau di sini?
Aku mau pamit harus berangkat lagi.”
Kamu ingin segera beranjak dari tempat
dudukmu dan berpamitan denganku.
“Iya, aku masih mau di
sini. Baiklah, kamu hati-hati ya di jalan dan semoga lancar sampai hari H.”
“Aamiin, Terima kasih,
ya.”
Kamu tersenyum kepadaku, aku membalas
dengan anggukan kepala. Dalam hatiku berkata sampai bertemu di hari H.
♥♥♥
Begitu banyak buku yang
aku baca. Sahabat jadi cinta adalah nyata, tapi tentunya itu bukan kita.
Mungkin terasa mudah untuk menyatukan dua orang dalam satu hobi, tapi terasa
sulit untuk menytukan orang dalam satu hati. Yang terlihat sangat dekat belum
tentu bisa saling menyayangi dan yang terlihat jauh bisa jadi diam-diam saling
mencintai. Seperti kita yang sehati hanya untuk hal yang digemari, tetapi bukan
berarti bisa untuk saling mencintai.
Mengenalmu dan bertemu
denganmu kembali telah memberikan pehaman kepadaku tentang rasa penasaranku
atas keberadaanmu selama ini. Bagai misteri yang terpecahkan dalam hidupku.
Jodohku ternyata bukan kamu.
Aku harap kamu membacanya
jangan terlalu serius amat. Aku hanya mau ucapkan selamat. Karena kamu sudah
menemukan yang sehati. Hingga membuatmu jatuh hati. Semoga lancar sampai hari
yang dinanti. Setia sehidup semati dalam ikatan suci.
Jakarta, Januari 2020.
Kalian juga bisa baca cerpen judul lainnya karya dari Tim Nubar Juni pada buku berikut ini:
Penulis : Tim Nubar Juni (Yulizar, Moony Tan, Dwi Juliani, Desti Astiani,
Aisyah Chairunnisaa Anwar, Rizqi Nur Amartianto, Glory Samuel,
Juni Sari, Lionira Prakasita)
Penerbit : Zukzez Express Jatim
Tahun terbit : Cetakan I, Februari 2021
ISBN : 978-623-274-209-3
0 Comments