UNTUKMU YANG SEHATI - Desti Astiani

 

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Hi, reader! Apa kabar?
Apakah kalian suka cerita bertema kisah persahabatan?
Berikut ini adalah salah satu cerpen saya yang bertema kisah persahabatan. Cerpen ini juga menjadi salah satu bagian dari buku antologi cerpen Renjana dan Nostalgia yang ditulis bersama Tim Nubar Juni.
Selamat membaca!

UNTUKMU YANG SEHATI

Oleh: Desti Astiani

 

Di tengah perjalananku menuju sebuah kedai kopi ada sebuah nama yang memaksaku meminta diingat, seolah mengetuk-ngetuk kepalaku. Namamu, nama seorang pria yang sejak kelas 1 SMP menjadi sahabatku bersama empat orang teman lainnya yang terbentuk dalam satu geng. Seolah waktu mengajak aku berputar kembali ke dua belas tahun yang lalu.

 Tahun 2013

 Dulu kita satu geng sering bercanda dalam satu ruang kelas yang sama sampai kelas 2 SMP. Ketika kelas 3 SMP aku terpisah kelas tidak lagi bersama anggota geng itu, tetapi aku dan dirimu ditakdirkan untuk satu ruang kelas kembali. Saat pengumuman pembagian ruang kelas 3, kamu tidak hadir di sekolah. Teman sekelas kita menyampaikannya padaku bahwa kau sakit. Sepulang sekolah aku langsung menelponmu.

"Halo, kamu enggak masuk sekolah sakit ya?"

Tanyaku dengan santai sambil memastikan bahwa kau benar sakit.

"Halo, iya lagi gak enak badan, nih. Tumben kamu nelpon pas jam pulang, ada apa?"

"Aku ada kabar gembira, lo! Kita sekelas lagi, dapat ruang kelas 3.1 kelas unggulan, hore...!"

Jawabku dengan nada gembira.

"Kamu girang banget, kitakan emang selalu sekelas. Mereka berempat juga sekelas lagikan sama kitakan?"

"Enggak, mereka berempat enggak sekelas lagi sama kita, mereka pisah-pisah. Cuma kita berdua aja yang sekelas lagi."

"Yah... enggak rame lagi, deh. Besok kalau kamu datang duluan tolong cariin bangku ya buat aku. Andai perempuan dan laki-laki boleh duduk sebangku kitakan jadi enggak perlu repot cari teman sebangku lagi."

"Ah, biasanya juga kamu yang sampai di sekolah duluan, nanti kalau kamu sampai duluan juga cariin aku bangku ya, kita duduknya bersebrangan lagi aja."

"Oke."

Selama 3 tahun aku selalu satu ruang kelas denganmu dan kamu selalu duduk di seberangku. Namamu cukup terkenal dikalangan adik kelas, meskipun kamu bukan anak OSIS, tapi kamu adalah vokalis grup band yang sering mengikuti lomba di Kabupaten dan sering tampil dibeberapa acara sekolah. Tidak heran jika adik kelas sering ada yang menitipkan salam untukmu lewatku. Terutama saat jam istirahat tiba, adik-adik kelas perempuan sering menunggumu lewat di depan kantin, hingga membuatmu jadi malas jajan ke kantin lagi. Suatu ketika pernah ada seorang adik kelas yang menyapaku di kantin untuk menanyakan jajanan kesukaanmu. Jajanan kesukaanmu adalah Chacha kacang berbungkus warna kuning. Hingga adik kelas tersebut akhirnya menitipkan sebungkus Chacha kacang untukmu. Sesampainya di kelas, kudekati dirimu yang sedang asyik mengobrol di bangku belakang kelas bersama teman-teman pria lainnya yang sedang bermain gitar.

"Nih, Chacha buat kamu."

Aku memberikan sebungkus Cha-cha itu kepadamu.

"Emangnya aku titip jajan sama kamu, ya?"

Kamu bertanya dengan wajah bingung.

"Enggak, itu emang buat kamu."

Jawabku santai tanpa mengatakan bahwa itu dari adik kelas, karena jika aku mengatakannya aku tahu kamu tidak akan memakannya.

"Wah.. makasih ya."

Aku duduk di sampingmu, aku memperhatikanmu yang langsung membuka bungkus Chacha dan memastikanmu mulai memakannya.

"Besok gantian ya, aku yang jajanin kamu."

"Engg…ggak usah."

Tidak seperti biasanya aku menolak tawaran traktiran jajan darimu.

"Memangnya kenapa?

Kamu bertanya sambil mengunyah Chacha tersebut.

"Karena Chachanya itu bukan dari aku, tapi dari adik kelas perempuan yang suka nungguin kamu lewat di depan kantin.

"Haaah... apa? Uhuk… uhuk...!"

Seketika kamu kaget, sambil terbatuk-batuk. Aku dan teman-teman tertawa geli melihat ekspresimu yang kaget sampai tersedak Chacha.

"Ciee...cie... dapat jajanan favorit dari fansnya!"

Aku dan teman-teman kompak meledekmu. Karena teman-teman pun tahu adik kelas tersebut memang sangat menyukaimu, sering menitipkan salam untukmu lewat beberapa teman sekelas.
            "Kenapa kamu enggak bilang dari awal kalau Chacha ini darinya?"

Kamu bertanya marah kepadaku sambil melotot. Kamu memang paling anti menerima apapun dari adik kelas yang terlihat sangat berlebihan kepadamu.

          "Karena kalau aku bilang dari awal pasti nggak akan dimakan sama kamu. Kan mubazir jadinya."

Jawabku sambil memasang ekspresi wajah bersalah.

            "Tapikan bisa kamu aja yang makan, kalau aku yang makan nanti ada peletnya bagaimana?"

Seketika kita tertawa, menertawakan pikiranmu yang sangat mengada-ngada itu.

Kamu menjelaskannya padaku, kamu tidak mau memakannya karena kalau kamu memakannya kamu takut dia berpikir bahwa kamu bahagia menerimanya dan akan menjadi suatu kebiasaan untuknya kemudian malah akan membuatnya semakin berharap padamu. Serumit itu usahamu agar tidak memberikan harapan kosong kepadanya.

Kita sama-sama suka pelajaran olahraga. Apalagi ketika pengambilan nilai untuk berlari mengitari bagian luar gedung sekolah. Selalu aku perempuan pertama yang tiba di garis finish dan selalu kamu laki-laki pertama yang tiba di garis finish. Dulu kita sekompak itu.

♥♥♥

Sambil mengingat kenangan itu aku terus mengemudikan mobil menuju kedai kopi. Aku juga bingung, mengapa tiba-tiba aku mengingatmu dengan cerita-cerita yang lebih dari dua belas tahun telah berlalu? Kemudian pada empat tahun yang lalu setelah delapan tahun berpisah.

 Tahun 2015

            Ketika Whatsappku berbunyi, ada seseorang yang mengundangku ke sebuah group. Dia adalah salah satu anggota geng semasa SMP, dia pernah meminta nomor handphoneku ketika tanpa sengaja dia pernah bertemu denganku di Stasiun. Ketika kubuka Whatsapp, undangan itu adalah grup alumni SMP. Bukan main, bahagia sekali rasanya bisa terhubung kembali dengan teman-teman alumni SMP. Hanya aku yang terpisah jauh sejak lulus SMP, karena dulu aku diterima di SMA Negeri favorit di Kota yang berbeda. Aku melihat ada namamu di group itu. Aku mulai mengklik nomormu, kemudian mengetik salam untuk menyapamu, meyakinkan diriku bahwa itu benar adalah kamu. Inilah saat pertama kali kita terhubung kembali setelah terpisah lebih dari delapan tahun lamanya, karena aku kehilangan kontakmu tepatnya setahun setelah lulus SMP karena telepon rumahku dan rumahmu diputus.

Aku dan kamu larut dalam sebuah obrolan, kemudian saling follow akun sosial media Path dan Instagram. Nama akunmu di luar dugaanku. Pantas saja, setiap kali mencari namamu lewat akun sosial media aku tidak pernah berhasil menemukan namamu di sana. Dari postingan Instagrammu itu aku tahu bahwa kamu masih suka olahraga lari. Setelah kamu melihat postingan Instagramku, kamu pun mengatakan bahwa aku masih sama seperti dulu suka membaca buku, kamu mulai bertanya-tanya tentang penulis favoritku dan tempat biasa aku membeli buku secara online. Ternyata kesukaan kita masih sama seperti dulu. Sama-sama suka olahraga lari dan membaca buku. Obrolan via whatsapp pun semakin seru, hingga beralih topik jurusan kuliah dan pekerjaan. Meski rumah kita berjauhan, tapi ternyata kantor tempat kita bekerja tidak berjauhan.

Beberapa minggu kemudian aku dan kamu sapakat untuk bertemu pada hari Sabtu malam disebuah kedai roti bakar. Hari itu hujan turun begitu derasnya seolah ingin ikut menyambut pertemuan pertama kita setelah tidak bertemu lebih dari depan tahun lamanya. Aku melihatmu sudah duduk terlebih dahulu di sudut kedai, kemudian kamu melambaikan tangan ke arahku. Aku menghampirimu.

"Hei, kamu apa kabar?"

"Baik. Kamu sendiri gimana kabarnya?"

"Sama, aku juga baik kabarnya.”

"Kamu mau pesan apa?"

"Aku pesan matcha latte aja sama roti bakar selai coklat.”

"Aku juga kalau pesan roti bakar sukanya selai coklat. Kenapa minumnya gak kopi aja, sih? Biar samaan juga."

"Aku enggak suka minum kopi. Sukanya matcha."

"Ooh.. yah padahal hujan-hujan begini enaknya minum kopi, lo!"

Aku memberikanmu sebuah buku dari salah satu karya penulis favoritmu. Kamu terlihat begitu senang menerimanya. Buku itu juga yang menjadi salah satu alasan kita bertemu. Awalnya kamu ingin meminjam buku itu dariku, tapi aku lebih memilih untuk membelikanmu buku yang baru, sekaligus sebagai hadiah ulang tahunmu yang sudah lewat seminggu. Kita terbawa ke dalam sebuah obrolan yang ternyata aku dan kamu sama-sama jomblo. Kita saling menyebutkan nama-nama teman semasa SMP dulu, yang kabarnya sudah banyak yang menikah. Kemudian teringat kepada teman perempuan yaitu salah satu anggota geng kita yang belum lama pernah bertemu denganku di Stasiun. Akhirnya kita membuat group Whatsapp yang isinya aku, kamu dan dia. Kita membuat janji minggu depan akan bertemu.

♥♥♥

Baru saja aku melewati kedai roti bakar saat dulu pertama kali kita bertemu, kali ini tujuanku kedai kopi juga untuk bertemu denganmu. Di depan ada lampu merah yang membuatku berhenti mengemudi sejenak. Aku menarik nafas dalam-dalam. Aku teringat pernah merapalkan doa semoga aku akan dipersatukan dengan seorang pria yang memiliki banyak kegemaran yang sama denganku.

 Tahun 2016-2019

         Setelah pertemuan hari itu, kita bertiga jadi lebih sering menghabiskan waktu di akhir pekan untuk pergi nonton dan makan siang bersama. Lama-lama aku merasa dia mulai menyukaimu. Dia mulai tertarik ikut jogging bersama kita, ikut membaca buku dari penulis favoritmu dan menanyakan banyak hal kepadaku tentang kesukaanmu. Dia sempat merasa cemburu ketika tahu kamu pernah datang ke kantorku hanya untuk mengantarkan kaca mataku yang pernah tertinggal sewaktu makan siang di akhir pekan. Dia juga merasa iri saat dia tahu kalau kamu sering menelponku setiap jam pulang kerja hanya untuk mengajakku sekedar duduk mengobrol melepas penat sambil minum kopi di café dekat kantorku, tetapi aku selalu menolak ajakanmu. Sudah sering aku katakan, aku tidak suka kopi. Pernah beberapa kali kamu menelponku malam-malam, yang ketika aku jawab panggilan telpon darimu ternyata kamu sudah ada di depan rumahku, memintaku untuk menemanimu membeli teh tarik favorit atau membeli nasi goreng di dekat rumahku. Aku tidak bisa menolak kalau soal teh tarik, minuman favorit aku dan kamu. Untuk kebiasaanmu yang satu ini aku harap dia tidak tahu agar tidak membuatnya semakin cemburu, tapi tetap saja dia tahu karena kamu sendiri yang selalu memberi tahunya dengan membagikan foto kepadanya, seperti sengaja membuatnya semakin iri. Aku heran, padahal yang rumahnya dekat dengan rumahmu itukan dia, kenapa harus aku yang selalu kamu ajak minum kopi atau menemanimu membeli apa yang sedang kamu inginkan? Sedangkan rumahku dan rumahmu itukan jauh, lagi pula kamukan bisa pesan online.

Aku setuju jika kalian berdua menjadi sepasang kekasih. Kamu memintaku untuk membantumu membuat rencana kejutan di hari ulang tahunya, aku pun dengan senang hati membantumu. Aku berpikir, apa mungkin kamu juga menyukai dia? Karena ketika hari ulang tahunku kamu tidak menyiapkan kejutan apa-apa untukku, tidak seistimewa hari ulang untuknya, hanya memberikanku sebuah hadiah sederhana.

Mungkin kamu berpikir karena sudah ada yang menyiapkan kejutan untukku, yaitu seorang pria yang kamu tahu dia menyukaiku sejak lama. Sendainya kamu tahu, aku tidak bisa menerima cintanya karena apa yang aku sukai sangat bertolak belakang dengan dirinya, saat bersamanya waktu pun terasa berjalan sangat lama dan membosankan. Sering kali dirinya menyuruhku hanya mengikuti apa yang dirinya mau. Tidak seperti saat aku menghabiskan akhir pekan bersamamu, bisa larut dalam sebuah obrolan tentang hal yang sama-sama kita sukai, hingga waktu tak terasa begitu cepat berlalu. Aku memang tidak pernah menyampaikan keresahanku ini kepadamu. Karena jika aku menyampaikannya, itu sama saja aku mengatakan bahwa aku ingin terus bersamamu.

Soal kejutan ulang tahun yang kamu rencanakan untuk dia, itu cukup berhasil membuatnya terkejut. Dia merasa bahagia sekali, aku dan kamu langsung diajaknya makan. Ketika selesai makan kita berbincang-bincang, tiba-tiba kamu mengatakan sesuatu.

“Ada berita bahagia yang mau aku sampaikan ke kalian berdua.”

“Berita bahagia apa?”

Aku bertanya kepadamu dengan wajah antusias ingin tahu.

            “Akhirnya sekarang aku udah nggak jomblo lagi, aku udah jadian.”

            “Jadian? Sama siapa?”

Dia pun bertanya penuh curiga kepadamu sambil melirik ke arahku. Aku pikir ini masih dalam rencana kejutanmu untuknya.

“Maaf, aku emang nggak pernah cerita ke kalian tentang wanita yang satu ini, dia sahabatku sejak SMA. Dia sempat membuatku patah hati, karena menerima teman kampusnya sebagai pacarnya, mungkin aku juga yang salah karena telat mengungkapkan perasaanku kepadanya. Sebulan yang lalu dia putus dengan lelaki itu, lima tahun aku memendam perasaan, tanpa berpikir panjang seminggu yang lalu aku pun langsung menyatakan cintaku padanya. Aku begitu yakin pada perasaan cintaku ini memang hanya untuknya yang sudah aku kenal dekat sejak SMA dulu, untuk itu sebagai bukti keseriusan cintaku, kami akan melangsungkan pernikahan awal tahun 2020 nanti, agar kami bisa memiliki banyak waktu untuk menyiapkan segala sesuatunya lebih matang dari sekarang.”

            “Wah… selamat ya, semoga lancar sampai menjelang hari H. Sampaikan salam dari kita berdua untuknya, ya!”

Aku mengucapkan selamat kepadamu, yang sebelumnya sempat heningan sesaat.

“Terima kasih, ya. Kalian berdua emang sahabat terbaikku.”

Kamu menjawab ucapan selamat dariku dengan wajah gembira.

Sedangkan dia yang sedang berulang tahun hanya masih menatapmu dengan tatapan kosong, mungkin dia sangat kaget, sebetulnya sama, aku pun juga kaget.

♥♥♥

 Mobil yang aku kemudikan akhirnya tiba juga di kedai kopi tujuan, sesuai dengan alamat yang kamu berikan. Aku menghampirimu yang sudah duduk menungguku, dengan sebuah undangan untukku di atas meja tepat di samping secangkir kopi yang sudah kau pesan. Dengan meliriknya saja sudah terbaca undangan pernikahanmu itu, pernikahan yang akan dilangsungkan bulan depan, Februari 2020.

“Hai… sudah lama ya menungguku?”

“Enggak, kok. Oia… ini undangan untukmu.”

Kamu lekas memberikan undangan itu untukku, tetapi aku punya perasaan seolah ingin menanyakan adakah yang ingin kau katakan kepadaku? Aku mengubah pertanyaan itu dengan pertanyaan yang lain.

            “Bisakah kamu menuliskan suatu kalimat untukku di undangan ini, tepat di bawah namaku?”

Kemudian, aku menyerahkan pulpen ke arahmu, untuk menuliskannya.

            “Mengapa harus begitu?”   

“Aku mau undangan untukku spesial, berbeda dari yang lainnya. Ayolah, akukan selama ini tidak pernah meminta yang macam-macam! Hanya kali ini saja, ya.”

“Baiklah, beri aku waktu beberapa menit untuk berpikir.”

Sepuluh menit berlalu dengan hening, tetapi kamu belum juga menuliskan apa-apa untukku.

            “Lama banget, emangnya kamu mau nulis apa, sih?”

            “Nulis itu enggak bisa dipaksa, sabarlah sebentar lagi.”

Lima menit kemudian kamu mulai menuliskan sesuatu untukku di undangan itu tepat di bawah namaku.

            “Yes, akhirnya kamu nulis juga.”

            “Nih, buat kamu.”

Kamu menggeser undangan itu ke arahku di atas meja.

            “Buku + Teman = Kencan.”

Aku membacakan tulisanmu pada undangan itu yang berada tepat di bawah namaku dengan intonasi bertanya, sambil menatap tajam ke arahmu.

            “Iya. Emmh… Aku gak bisa lama-lama di sini, setelah kopiku habis langsung mau berangkat lagi.”

Aku masih mentap undangan itu, aku mengartikan tulisanmu itu dalam diam. Aku tidak berani menanyakan apa maksudmu menulisakannya kata-kata itu. Karena suasana berubah jadi serba canggung. Mungkinkah saat dulu pertama kali kita bertemu di kedai roti bakar, saat aku membawakanmmu sebuah buku dari salah satu karya penulis favoritmu, saat itu kamu menganggap kita sedang berkencan?

            Cukup lama kita ada dalam keheningan, seperti menjadi dua orang asing yang baru saja berkenalan. Sekarang aku mulai meyadari, sepanjang jalan menuju kedai kopi, aku mengingatmu dengan cerita-cerita yang lebih dari dua belas tahun telah berlalu, itu karena aku tahu setelah hari ini mungkin kita tidak akan pernah bisa seperti dulu lagi. Akan ada jarak di antara kita.

“Kamu masih mau di sini? Aku mau pamit harus berangkat lagi.”

Kamu ingin segera beranjak dari tempat dudukmu dan berpamitan denganku.

“Iya, aku masih mau di sini. Baiklah, kamu hati-hati ya di jalan dan semoga lancar sampai hari H.”

“Aamiin, Terima kasih, ya.”

Kamu tersenyum kepadaku, aku membalas dengan anggukan kepala. Dalam hatiku berkata sampai bertemu di hari H.

♥♥♥

Begitu banyak buku yang aku baca. Sahabat jadi cinta adalah nyata, tapi tentunya itu bukan kita. Mungkin terasa mudah untuk menyatukan dua orang dalam satu hobi, tapi terasa sulit untuk menytukan orang dalam satu hati. Yang terlihat sangat dekat belum tentu bisa saling menyayangi dan yang terlihat jauh bisa jadi diam-diam saling mencintai. Seperti kita yang sehati hanya untuk hal yang digemari, tetapi bukan berarti bisa untuk saling mencintai.

Mengenalmu dan bertemu denganmu kembali telah memberikan pehaman kepadaku tentang rasa penasaranku atas keberadaanmu selama ini. Bagai misteri yang terpecahkan dalam hidupku. Jodohku ternyata bukan kamu.

Aku harap kamu membacanya jangan terlalu serius amat. Aku hanya mau ucapkan selamat. Karena kamu sudah menemukan yang sehati. Hingga membuatmu jatuh hati. Semoga lancar sampai hari yang dinanti. Setia sehidup semati dalam ikatan suci.


Jakarta, Januari 2020.


Bagaimana kesannya setelah membaca cerpen tersebut?
Kalian juga bisa baca cerpen judul lainnya karya dari Tim Nubar Juni pada buku berikut ini:

Judul buku    : Renjana dan Nostalgia (Antologi Cerpen)
Penulis           : Tim Nubar Juni (Yulizar, Moony Tan, Dwi Juliani, Desti Astiani,
                          Aisyah Chairunnisaa Anwar, Rizqi Nur Amartianto, Glory Samuel,
                          Juni Sari, Lionira Prakasita)
Penerbit         : Zukzez Express Jatim
Tahun terbit   : Cetakan I, Februari 2021
ISBN                : 978-623-274-209-3

Terimakasih sudah membaca dan berkunjung ke blog ini.
Sampai jumpa di postingan lainnya.

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
—Desti

0 Comments