Roman Tetralogi Buru mengambil latar kebangunan dan cikal bakal nasion bernama Indonesia di awal abad ke 20. Dengan membacanya, waktu kita dibalikkan sedemikian rupa dan hidup di era membibitnya pergerakan nasional mula-mula.
Kehadiran roman sejarah ini, bukan saja dimaksudkan untuk mengisi sebuah episode berbangsa yang berada di titik persalinan yang pelik dan menentukan, namun juga mengisi isu kesusasteraan yang sangat minim menggarap periode pelik ini. Karena itu hadirnya roman ini memberi bacaan alternatif kepada kita untuk melihat jalan dan gelombang sejarah secara lain dan dari sisinya yang berbeda.
Tetralogi ini dibagi dalam format empat buku. Dan roman keempat, Rumah Kaca, memperlihatkan usaha kolonial memukul semua kegiatan kaum pergerakan dalam sebuah operasi pengarsipan yang rapi. Arsip adalah mata radar Hindia yang ditaruh di mana-mana untuk merekam apa pun yang digiatkan aktivis pergerakan itu. Pram dengan cerdas mengistilahkan politik arsip itu sebagai kegiatan pe-rumahkaca-an.
Novel besar berbahasa Indonesia yang menguras energi pengarangnya untuk menampilkan embrio Indonesia dalam ragangan negeri kolonial. Sebuah karya pascakolonial paling bergengsi.
Ulasan
Di buku Rumah Kaca ini, saya menyaksikan Jacques Pangemanann bercerita tentang R.M. Minke. Jadi, cerita ini adalah tentang R.M. Minke yang dilihat dari sudut pandang seorang Jacques pangemanann.
Siapakah Jacques Pangemanann? Dia adalah Komisaris Kepolisian Betawi. Seorang budak yang hidupnya kehilangan prinsip. Sebagai Inspektur maupun Komisaris Polisi, pekerjaannya tak lain terus mengawasi ketat sebangsanya demi keselamatan dan kelangsungan hidup Gubermen. Semua Pribumi yang mengusik kenyamanan Gubermen dia tempatkan dalam sebuah rumah kaca dan dia letakkan di meja kerjanya.
Jacques Pangemanann ini memperlihatkan ketidaksenangan hatinya atas tugas berat yang dipercayakan dan dipikulkan di pundaknya. Karena sebenarnya dia bukan saja berpihak kepada R.M. Minke, tetapi dia pun mengaguminya, menghormatinya, dan diam-diam menghargai setulus hatinya.
Untuk alasan penangkapan R.M. Minke oleh polisi di buku Rumah Kaca ini pun sama dengan akhir buku Jejak Langkah belum ada titik terang alasan penangkapannya. Menurut Jacques Pangemanann R.M. Minke bukan penjahat, bukan pemberontak, dan jelas bukan kriminal.
Saya menyimpulkan dari bagian saran-saran kertas kerja Pangemanann R.M. Minke ditangkap karena R.M. Minke telah membuat pergerakan di Hindia dengan tulisan-tulisannya, sedangkan setiap gerakan yang merumuskan ke arah pemusatan kekuatan selalu merupakan bahaya bagi Gubermen. Gerakan itu paling sedikit akan mengurangi kewibawaan Gubermen, dan juga akan mendesakkan kemauannya kepada Gubermen, dan paling akhir mencoba melawan Gubermen. Juga karena R.M. Minke merupakan pembawa unsur baru dalam kehidupan pribumi, pencerminan nurani ilmu pengetahuan Eropa. Buah pendidikan dan pengajaran Eropa di negeri-negeri jajahan mana pun memang akan sama saja: kesulitan untuk Gubermen-gubermen. Ditambah lagi kenyataan R.M. Minke dengan S.D.I nya terlalu cepat bergerak dan melampaui proporsi yang diperkirakan.
Pangemanann menceritakan sosok R.M. Minke dengan terperinci mulai dari R.M. Minke menuntut ilmu, cara berpakaian, postur tubuh, sampai tulisan-tulisannya.
Cerita Rumah Kaca ini memutar ulang kejadian sejak pertama kali Pangemanann mendapatkan tugas memata-matai R.M. Minke dan bekerjasama dengan Suurhof sesuai dengan perintah dari komandannya.
Semua kepolisian Betawi mengenal Suurhof. Seorang bayaran yang kerjanya menakut-nakuti pejabat-pejabat kecil setempat dan penduduk tak berdaya, penjual seribu macam kesaksian palsu agar tunduk pada keinginan pengusaha Eropa. Seorang residivis yang kerjaannya keluar masuk bui.
Suurhof merasa Pangemanann membutuhkan dirinya untuk bekerjasama, sedangkan menurut Pangemanann Suurhoflah yang mencari keuntungan hanya ingin mencari nama pada polisi. Disinilah pertamakalinya Suurhof mendapat tugas dari Pangemanann untuk menakut-nakuti R.M. Minke tanpa perkelahian karena tidak selamanya perkelahian dibutuhkan dalam pekerjaan. Tujuannya agar R.M. Minke stop kegiatannya. Biar dia bubarkan perkumpulannya.
Menurut Pangemanann S.D.I jelas bukan organisasi kriminal. Yang organisasi kriminal, itu yang dikendalikan Suurhof. Dan jauh lebih besar lagi dikendalikan Tuan Besar Gubernur Jenderal: Pemerintah Hindia Belanda, dan Pangemanann kriminal kecil menjadi anggotanya.
"Betapa sederhana hidup ini sesungguhnya. Yang pelik cuma liku dan tafsirannya. Jutaan semut mati setiap hari terinjak kaki manusia. Ribuan juta serangga mati setiap detik karena diberantas manusia di ladang-ladang pertanian. Jiwa-jiwa itu punah dan yang tersisa berbiak kembali dalam laju yang sangat derasnya. Juga manusia berjatuhan di medan-perang, sama dengan semut dan serangga. Juga yang tersisa berbiak kembali dalam laju yang sama derasnya. Mengapa mesti sentimental terhadap kematian? Hanya karena sejak kecil dipompakan dongeng tentang iblis, malaikat, neraka dan surga? Segalanya tafsiran semata dan tetap tinggal tafsiran. Jutaan manusia telah lenyap dari muka bumi, termasuk peninggalanya karena bencana alam lebar. Siapa akan sentimental? Mereka malah bersyukur karena sendiri tak terkenai." —Jacques Pangemananan (Hlm. 52)
Saat Pangemanann mengantarkan R.M. Minke ke pembuangannya di Ambon, Pengemanann merasakan kebesaran jiwa Piah, seorang pembantu rumahtangga R.M. Minke yang mampu mempunyai sikap mengalahkan dirinya. Di sini Pangemanann merasa bukan R.M. Minke yang seorang kriminal, tetapi dirinyalah yang kriminal. Karena dia mempunyai sandiwara yang busuk.
"Apakah yang tidak busuk dalam kehidupan kolonial? Semua ikan besar busuk mengelompok jadi pelaksana kekuasaan. Semua ikan kecil busuk bertebaran dalam kebidupan dan ikut membusukinya." —Jacques Pangemanann (Hlm. 70)
Pangemanann ingin kelak anak-anak dan istrinya tahu siapa Pangemanann sesungguhnya. Agar anak-anaknya kelak tidak mencontoh Pangemanann yang menjadi seorang budak penghidupan yang kehilangan prinsip, karena seorang tanpa prinsip adalah sehina-hina orang. Maka dia membuat tulisan dalam buku ini yang dia beri judul Rumah Kaca. Ada pesan Pangemanann untuk anak-anaknya:
"Jadilah orang-orang yang berhati murni, berprinsip, berpribadi, sebagaimana dicita-citakan peradaban Eropa. Jadilah manusia bebas dari pretensi dan ambisi. Jadilah manusia berperadaban yang wajar." —Jacques Pangemanan (Hlm. 99)
Bagian berkesan dari bab buku ini adalah bab 4 halaman 186-187. Saat Jacques Pangemanann membacakan tulisannya berupa ulasan-ulasan tentang R.M. Minke. Sebuah di antaranya tentang Pribumi yang mendapatkan pendidikan. Belanda mengajar Pribumi untuk bisa baca dan tulis. Memperluas pendidikan Pribumi sama artinya dengan merampas kebahagiaan mereka. Ulasan lain lagi tentang pembuangan R.M. Minke ke Ternate. Gubermen membiarkan R.M. Minke masih punya harapan, tak pernah menjatuhkan hukuman mati pada Pribumi berbangsa seperti R.M. Minke. Dari sini bisa diketahui penilaian seorang Jacques Pangemanann terhadap R.M. Minke sebagai pembuat onar dan alasannya mengapa R.M. Minke dia singkirkan.
Gubermen tidak hanya menangkap dan membuang R.M. Minke, tetapi juga mengusir Mr. Hendrik Frischboten dari Hindia. Ini bagian menyedihkan karena menurut Jacques Pangemanann Mr. Hendrik adalah orang yang paling mulia dan jujur pada orang lain dan pada dirinya sendiri. Saat Ferischboten berpamitan kepada orang-orang di pelabuhan ada kata-katanya yang begitu bersahabat darinya.
"Tidak ada yang lebih baik daripada persahabatan yang ikhlas, teman-temanku yang kukasihi. Terimakasih atas kebaikan kalian. Tak ada manusia hidup tanpa persahabatan dan kebaikan, karena yang bukan demikian bukan manusia. Selamat tinggal semua yang tersayang dan tercinta." —Hendrik Frischboten (Hlm. 195)
Frischboten juga sempat menitipkan salam untuk R.M. Minke dan mengatakan pesan.
"Pada kalian aku juga berpesan, hendaknya ia jangan dilupakan. Dialah Sang Pemula, karena dialah orang pertama-tama yang menyuluhi bangsanya dan memimpin kalian." —Hendrik Frischboten (Hlm. 196)
Meskipun R.M. Minke ada di tempat pembuangan, semua orang masih juga membicarakan R.M. Minke. S.D.I ternyata tidak mati, kini dipimpin oleh Hadji Samadi. Anggotanya semakin membeludak.
Kemudian Tjokro mulai mengganti Medan yang telah dibekukan dengan Peroetoesan, dan Syarikat tetap tidak atau belum jadi partai. Mengikuti jejak R.M. Minke, koran Tjokro berbahasa Melayu, bukan Jawa.
Cerita Rumah kaca ini dimulai dari tahun 1912. Memasuki tahun belasan ini koran bukan hanya penyampai berita. Dia mencoba menerangkan, mengajar, mengajak, menjajakan pikiran-pikiran. Di belakang koran modern bukan hanya mesin-mesin cetak, juga mesin-mesin otak. Sin Po dikendalikan oleh mesin otak nasionalis Tiongkok, Peroetoesan oleh mesin otak Syarikat, dan De Expres mesin otak Indische Partij. Dengan koran itu otak bicara pada anggota-anggota badannya sendiri, meniadakan jarak ratusan mil.
Pada bab 6 buku ini ada anggapan kalangan kolonial soal pengajaran bahasa Belanda kepada Pribumi dan akibat dari pengajarannya itu sendiri. Kemudian juga ada kerinduan Jacques Pangemanann pada semasa menjadi inspektur polisi, yang kini tugasnya berubah menjadi memerangi hasil terbaik dari peradaban Eropa—nasionalisme yang masih sangat muda.
Selain itu, pada bab 6 ini juga terjadi penangkapan D-W-T, tak lain dari Jacques Pangemanann lagi yang ditugaskan mengawasi sendiri jalannya penangkapan. Mereka ditangkap bukan sebagai pemuka-pemuka Indische Partij, bukan sebagai politikus, bukan sebagai pimpinan, mereka ditangkap sebagai jurnalis-jurnalis yang dengan tulisannya mengancam keamanan dan ketertiban umum. Berkat reaksi keras Pers Tionghoa & Inggris, Gubermen Jendral Indenburg memberi kesempatan kepada mereka untuk membela diri dengan tulisan yang boleh diumumkan. Mereka ditawari pembuangan di dalam atau di luar Hindia, mereka memilih yang ke dua, mereka berangkat ke Eropa, negeri Belanda.
Mendekati akhir 1914 di Hindia terdapat perkembangan. Beberapa orang bekas Indische Partij telah mendirikan partai baru bernama Insulinde. Tetapi partai ini pucat kekurangan darah. Tak punya koran, jadi tak punya mulut.
Pada bangsa-bangsa Hindia sudah mulai tumbuh kegiatan untuk memajukan bangsanya masing-masing. Bangsa jawa punya Boedi Moeljo yang sudah mendirikan begitu banyak sekolah. Bangsa Sunda mulai mendirikan Pagoeyoban Pasoendan. Orang Madura mendirikan Syarikat Madoera. Orang Islam berkumpul dalam Syarikat Islam. Malah dalam lingkungan yang lebih kecil, di antara bangsawan-bangsawan Sala, telah berdiri Darah Mangkoenegara.
Penduduk Madiun pun keranjingan berorganisasi. Di samping Syarikat yang sangat besar itu banyak lagi organisasi setempat: Sarekat Kusir, Sarekat Sopir, Sarekat Babu dan Jongos, Serekat Kuli Stasiun, dan beberapa belas macam lagi. Semua menggunakan nama Sarekat, bukan lagi Sjarikat, nama yang diwariskan oleh R.M. Minke, dan nampaknya akan jadi abadi dalam dunia organisasi di Hindia.
Organisasi-organisasi yang berwatak etnis semakin banyak: Putra Bagelan, Rencong Aceh, Rukun Minahasa, Mufakat Minang, Pertalian Banjar. Demam organisasi semakin meninggi. Dan semua ini akibat munculnya hanya seorang saja di panggung percaturan Hindia: Raden Mas Minke pada 1906.
Saya merasa ketika Jacques Pangemanann marah terhadap orang lain yang berhubungan dengan pekerjaannya, secara tidak lamgsung dia seperti sedang memberikan fakta dari bangsa Eropa yang berbuat seperti pembegal di tengah hukum. Kemudian kebusukan kolonial yang senang melarang dan menindas.
"Melarang adalah kesukaan kolonial yang memberikan kenikmatan tersendiri. Rasa-rasanya diri menjadi lebih penting dan lebih berkuasa."—Jacques Pangemanann (Hlm. 322)
"Menindas adalah juga watak kolonial. Kenikmatan yang dihasilkan oleh perbuatan menindas lebih mendalam daripada hanya melarang."—Jacques Pangemanann (Hlm. 322)
Ketika membicarakan tentang Eropa baik hasil pengaruh dalam pembangunan dan perusakannya serta pendidikannya, Jacques Pangemanan teringat pada naskah R.M. Minke tentang Nyai Antosoroh. Dari hasil penelusurannya dia mendapatkan jawaban Kantor Catatan Sipil Surabaya Jean Marais bukan nama sesungguhnya, nama sesungguhnya adalah Antonie Barbuse Jambitte alias Le Boucq.
Setelah mendiang Gadis Jepara telah hadir si gadis jelita bernama Siti Soendari berwajah daun sirih berasal dari Pemalang yang mempunyai tulisan mengandung peringatan tentang Jerman dan kaum nasionalis. Gubernur Jawa Tengah telah memberikan isyarat kepada asisten residen Pekalongan, agar ayah Soendari sudi mengendalikan putrinya. Diancam untuk memilih antara dua: kehilangan jabatan atau pensiun tanpa hormat dan kehilangan putrinya atau membahagiakan putrinya dengan suatu perkawinan yang terhormat, dengam tetap mengukuhi jabatan dan pensiun di kemudian hari. Karena mereka menilai seorang gadis Pribumi akan selesai segala ulahnya bila telah menaiki ranjang pengantin. Ancaman itu tidak mempan, nyatanya tulisan Soendari semakin banyak, sekalipun tidak tampil di hadapan umum. Tulisannya semakin berbobot, semua dalam Melayu Sekolah. Sekalipun ia tidak mencantumkan nama pada setiap tulisannya, gaya bahasanya tak ada duanya.
Dewan Hindia masih belum selesai dengan jawabannya terhadap pertanyaan Gunernur Jendral tentang untung rugi pendidikan Eropa dan Pribumi. Disebabkan maslah Boedi Moeljo sebagai pendiri sekolah-sekolah dasar dengan nama yang sama, katanya adalah sebuah organisasi orang-orang Jawa tapi justru tidak memasukan bahasa jawa dalam kurikulumnya. Sebaliknya sejak kelas satu sampai tujuh murid-muridnya diajar menggunakan bahasa Belanda, sebagaimana berlaku pada H.I.S., E.L.S. dan H.C.S. Gubermen telah membangun H.C.S. untuk anak-anak Tionghoa. Tapi apakah yang telah dilakukannya untuk Pribumi? Tak ada! Padahal itulah justru menjadi kewajiban Gubermen untuk mendirikannya. Tetapi mengapa sejak 1909 yang membangunkan sekolah dasar gaya Eropa untuk Pribumi justru Boedi Moeljo? Mengapa Boedi Moeljo mengambil alih kewajiban yang sebenarnya harus dilakukan Gubermen?
Keadaan di Hindia sudah tak tertahankan lagi bagi orang-orang kecil. Pengangguran merajalela dan diikuti dengan kejahatan yang menaik dan kerusuhan-kerusuhan yang membiak.
Lima tahun masa pembuangan R.M. Minke berakhir. Usianya mendekati 40 tahun. Tetapi dia belum lagi bebas masih diikuti terus oleh Jacques Pangemanann. R.M. Minke berpesiar melihat-lihat Surabaya. Di tengah perjalanan dia bertemu Painah dan teringat Kommers yang kemudian dia ketahui telah meninggal. Dia tenggelam dalam masalalunya kembali, mengenang Wonokromo. Sampai suatu ketika dia menemukan papan nama Boerderij Wonotjolo yang kemudian dia ketahui dikelola oleh orang Madura yang tak lain adalah Darsam. Lalu menemukan papan nama MOLUKKEN, di bawahnya tertera keterangan Handle in Indische Specerijen berdagang rempah-rempah yang kemudian dia ketahui dikelola oleh Darman.
Ketika R.M. Minke tiba di Betawi diajaknya ke kantor besar polisi untuk menandatangani sebuah pernyataan agar dirinya sepenuhnya bebas. Agar berjanji untuk tidak mencampuri politik dan organisasi. R.M. Minke jelas menolaknya.
"Tak ada orang yang dapat dihukum tanpa keputusan hukum." —Minke (Hlm. 567)
Kemudian R.M. Minke pergi dan merasa tidak perlu diantar-antarkan lagi oleh Jacques Pangemanann. Tempat yang dituju adalah Hotel Medan untuk mencari Mas Kardi, kenyataannya begitu setibanya di sana Hotel telah berganti nama dan sudah beralih ke tangan pemilik baru melalui pelelangan. Selanjutnya R.M. Minke menuju Kwitang ke rumah dokter Sindu Ragil, tetapi sedang tidak menerima tamu. Lalu R.M Minke pergi ke Sawah Besar untuk ke sebuah toko tetapi tak ada nama Medan, Toko Keperluan Sekolah dan Kantor. Toko itu kini berdagang barang-barang besi. Kasihan R.M. Minke ini. Ia bermaksud pulang ke rumahya, ke Buitenzorg, kenyataannya setibanya di depan rumah ia kanget rumahnya kini dimiliki oleh Jacques Pangemanann.
R.M. Minke berniat mencari teman-temannya yang lama dengan modal uang yang tak cukup banyak dengan menyewa taksi sampai di Jalan Braga. Ia mengintip-intip bekas kantor redaksi Medan, tak ada seorang pun di antara orang buruh percetakan yang dikenalnya. Ia ragu masuk dan tidak bertanya. Malam itu pukul sepuluh ia menuju ke rumah Tuan Mr. Hendrik Frischboten, kenyataannya itu bukan rumah Ferischboten lagi.
Pada bagian ini saya merasakan R.M. Minke tak menemukan arti pulang yang sesungguhnya. Ia yang begitu terkenal lima tahun yang lalu, kini sudah terlupakan. Menurut Jacques Pangemanann R.M. Minke adalah guru.
"Bagaimana pun kau adalah guru, guru bagi setiap orang yang berpendidikan Eropa, karena Eropa dapat meyakinkan aku: setiap orang, siapa saja, yang berhasil dalam usahanya adalah seorang guru yang menambahi ilmu dan pengetahuan umat manusia." —Jacques Pangemanan (Hlm. 576)
Tiga hari kemudian dilaporkan ia naik kereta api menuju Betawi turun di stasiun Gambir. Sudah tidak mampu menyewa delman lagi. Ia berjalan kaki. Sungguh mengharukan betapa ia dapat begitu setia pada kopor busuk yang barangkali tak ada sesuatu pun isi di dalamnya. Saya pun penasaran apa yang ada di dalam kopornya itu.
Beberapa minggu lamanya ia mengembara dari pasar ke pasar. Rupa-rupanya ia telah bertekad hendak menghindari teman-teman, sahabat-sahabat lamanya. Ternyata kemudian ia ditampung oleh salah seorang sahabat yang lama, Goenawan, yang telah dikucilkan dari syarikat Islam setelah kekuasaannya Mas Tjokro.
Goenawan yang menyampaikan kepadanya tentang perkembangan Syarikat setelah ditinggalkannya. Kepada Goenawan R.M. Minke mengatakan akan menyewa ahli-ahli hukum Eropa yang tak perlu dibayar dengan uang. Tetapi menurut Goenawan mereka jadi ahli dengan susah-payah dan dengan biaya. Selain itu menurut Goenawan apa yang R.M. Minke inginkan berbeda dengan kenyataannya.
"Kita semua harus menerima kenyataan, tapi memerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang, karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru, maka kemajuan sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia." —Minke (Hlm. 584)
R.M. Minke dalam keadaan tak sehat. Sebagai seorang bekas calon dokter tentu ia tahu apa penyakitnya. Ia menolak pergi ke dokter untuk berobat. Di lingkungan Goenawan terdapat Dokter Jerman bernama Bernhard Meyersohn dibawanya R.M. Minke ke sana. Namun sebelumnya dokter tersebut telah diancam oleh Goenawan untuk mengatakan saja bahwa R.M. Minke sakit disentri. Sekali pukulan pada muka doker itu kehilangan pengelihatannya. Saya sendiri tidak habis pikir dengan perlakuan Goenawan. Sampai pada akhirnya dalam keadaan sakit parah itu R.M. Minke dibawa kembali oleh Goenawan pulang ke rumahnya dan meninggal dunia dalam perawatannya.
R.M. Mike telah meninggal dimakamkan di kuburan Karet oleh penggotong-penggotong upah. R.M. Minke di sini terasa benar-benar hilang sejak kepulangannya ke Jawa pun tidak pernah diketahui oleh pers. Ia tidak boleh menarik perhatian umum lagi. Ia dipisahkan dari anak sulungnya, dunia jurnalistik. Tidak ada surat kabar memberitakan tentang kematiannya. Sampai suatu ketika Sanikem pun mencarinya. Mendatangi makamnya bersama Jacques Pangemanann dan mendapati nama R.M. Minke pada nisan kayu jati itu telah hilang dan berganti dengan tér hitam.
Sejak kembalinya R.M. Minke dari pembuangannya di Ambon banyak hal memilukan terjadi, rasanya sesak sekali ketika saya membaca dua bab terakhir sebagai penutup kisah hidup dan perjuangannya. Ia tak menemukan arti pulang, sengaja dihilangkan keberadaannya, bahkan di tempat pemakamannya pun tak dibiarkan damai. Menurut saya akhir cerita hidup dan perjuangannya memang harus diketahui oleh banyak orang, terutama bagi yang sudah mengenalnya sejak membaca Bumi Manusia.
Itulah akhir kisah hidup Raden Mas Minke.
Terima kasih sudah membaca dan berkunjung ke blog ini.
—Desti
0 Comments